Kalau tidak, niscaya kisah di bawah ini takkan pernah kita dengar. Bayangkan, luput dari tembakan mortar saja sudah luar biasa, apa lagi lolos dari dua kali serangan bom atom. Inilah kisah keajaiban Tsutomo Yamaguchi yang lolos dari maut di Hiroshima dan Nagasaki.
Yamaguchi saat itu berumur 79thn merupakan salah satu dari lima
orang yang selamat dari neraka bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Padahal kedua
kota itu berjarak 260 mil dan terletak di pulau yang ber beda. Karena jaraknya
yang jauh dan sulitnya transportasi masa itu, maka sedikit sekali orang yang
“kebetulan” berada di kota tersebut ketika keduanya dijatuhi bom atom 67 tahun
yang lalu.
Saat Enola Gay
menjatuhkan bom atom Little Boy seberat 5 ton di Hiroshima pada tanggal 6 agustus 1945, Yamaguchi bekerja sebagai insinyur muda pada perusahaan Mitsubishi. Ledakannya membubungkan kebakaran api dan debu beracun setinggi 8 mil.
menjatuhkan bom atom Little Boy seberat 5 ton di Hiroshima pada tanggal 6 agustus 1945, Yamaguchi bekerja sebagai insinyur muda pada perusahaan Mitsubishi. Ledakannya membubungkan kebakaran api dan debu beracun setinggi 8 mil.
Ledakan
Little Boy yang dijatuhkan di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus1945 memusnahkan
80.000 jiwa. Inset peta lokasi ledakan.
Saat
itu Yamaguchi hanya berada kurang dari 1,5 mil dari pusat pemboman. “Tubuh saya
sampai terangkat dari tanah oleh hembusan angin panas, lalu saya terhempas ke
tanah dan berbaring dengan kedua tangan menutupi telinga.” demikian ia
mengisahkan peristiwa mengerikan itu di flatnya yang sederhana di Nagasaki.
Darah
dari Telinga
“Telinga kiri saya bengkak dan darah
mengalir keluar. Rasanya begitu nyeri, panas, dan entah apalagi sampai saya tak
bias menjabarkannya. Ketika meraba rambut, ternyata rambut saya sudah hangus
terbakar. Wajah saya seperti habis terkena api las. Kulit yang tidak tertutup
pakaian hangus terbakar.”
Yamaguchi dan dua orang rekannya
beristirahat di udara terbuka, sementara disamping mereka terdengar rintihan
orang-orang yang kesakitan. Itulah yang tersisa di pusat kota Hiroshima. Hari
itu diperkirakan 80.000 orang tewas, sementara 60.000 berikutnya menyusul pada
akhir tahun akibat radiasi dan luka-luka.
Setelah kejadian itu Yamaguchi
memutuskan pulang ke kampong halamannya, Nagasaki. Ia naik salah satu kereta
api terakhir ke sana dan baru sampai pada keesokan harinya. Bisa dibayangkan 'sepanjang
perjalanan ia amat kesakitan. Apalagi efek keracunan dan infeksi akibat radiasi
mulai menggerogoti tubuhnya. “Saya lalu pergi ke salah satu rumah sakit
Mitsubishi. Namun tempat itu hampir-hampir tidak ada orangya karena semua
mengungsi ke pegunungan.”
Foto bom "Little Boy" yang dijatuhkan di Hiroshima
Satu-satunya dokter yang ada hanyalah
dokter spesialis mata, yang segera memutuskan untuk mengoperasi Yamaguchi. “Ia
melepaskan semua cabikan kulit yang terkelupas dari tubuh saya, seperti orang
melepaskan sarung tangan, kemudian membalut seluruh tubuh saya. Ketika kembali
ke rumah, yang kelihatan hanyalah mata, hidung dan mulut. Ibu sampai mengira
saya hantu. Ia baru yakin saat kaki saya masih menapak ke tanah. Soalnya, dalam
kepercayaan orang Jepang, hantu tidak punya kaki,” demikian tutur Yamaguchi.
Hebatnya,
meskipun dalam kondisi di ambang kematian, seperti cirri khas pekerja Jepang
pada umumnya, pada tanggal 9 Agustus 1945 ia masih ingat untuk melapor ke
kantornya di Nagasaki. Tapi, tak seorang pun rekannya yang percaya bahwa ia
saksi hidup penghancuran terhadap Hiroshima.
Dianggap
tidak waras
Ia bilang pada bosnya, Hiroshima
hancur hanya karena sebuah bom. “Anda ‘kan insinyur. Jadi, Anda pasti tahu
berapa energy yang dibutuhkan untuk menghancurkan sebuah kota. Anda pasti
sinting. Tapi, saya prihatin atas nasib Anda. Sekarang pulang saja
istirahatlah,” demikian kata bosnya.
Belum sempat menerangkan lebih jauh
tentang kejadian yang telah menimpanya, tiba-tiba Fat Man, bom atom kedua pun
dijatuhkan di Nagasaki. Untuk kedua kalinya Yamaguchi menjadi saksi berkilatnya
cahaya yang membutakan mata. “Persis sama seperti yang saya saksikan di
Hiroshima. Saya piker, kali ini matilah saya!”.
Para pekerja berlindung di bawah meja
tulis mereka. “saya tak bisa melihat apa-apa karena kertas dan semua alat tulis
berantakan dan beterbangan. Seluruh salep dan perban yang membungkus tubuh saya
terlepas, sehingga debu dan kotoran menempel ke seluruh wajah dan tubuh saya,”tutur
Yamaguchi.
Di Nagasaki, 35.000 penduduk tewas
begitu bom dijatuhkan. Sementara 35.000 lainnya meninggal di akhir tahun. Tapi,
anehnya, kali ini Yamaguchi tetap hidup! Betul-betul suatu mukjizat!.
Dengan tertatih-tatih, ia kembali ke
rumahnya yang sudah hancur. Ia pun membaringkan diri di atas sebuah papan di
dalam terowongan yang ada di dekat rumahnya. “Saya tidak ingat apa-apa dari
tanggal 9-15 Agustus. Saya juga tidak tahu apakah saya makan atau minum,”
Katanya.
Belakangan ia baru diberitahu
anak-anak bahwa belatung pada kulitnya dipatuki ayam. “Mungkin itulah yang
menyelamatkan saya.” Akhirnya, Yamaguchi diperiksa oleh para dokter yang
menurut dia lebih menjadikan para korban bom atom sebagai bahan studi daripada
pasien.
Foto bom "Fat Man" yang dijatuhkan di Nagasaki.
Mereka memintanya untuk tidak bekerja.
“Tapi, kalau saya tidak bekerja maka saya tidak akan mendapatkan tunjangan jika
tidak bekerja,” katanya.
Kenyataan
bahwa ia dapat bertahan hidup pada serangan bom yang kedua saja sudah merupakan
suatu keajaiban. Setelah ia sembuh dari leukemia, Yamaguchi yang menikah dan
dikaruniai dua anak, masih harus bergulat dengan berbagai macam tumor dan
kerusakan organ tubuh. Entah berapa kali ia sudah dioprasi. Saat ia membuka
bajumya, tampak bekas-bekas jahitan yang menghiasi perutnya seperti jarring Laba-laba.
Kini,
rasa sakit hatinya kepada Amerika yang menjatuhkan bom nuklir kepada Jepang
sudah agak memudar. “Saya makin tua, makin banyak informasi, makin banyak
berpikr,” kata Yamaguchi. Sesuai perang ia bekerja pada tentara sekutu dan
belakangan ia menjadi guru di bidang ilmu-ilmu sosial pada sebuah sekolah di
Nagasaki.
“Sebetulnya
upaya menjatuhkan bom atom itu tidaklah perlu. Apalagi pada masa itu
perundingan sedang berjalan. Tapi, Jepang ada salahnya. Kita juga perlu
merenungkan kesalahan yang dibuat oleh orang Jepang pada waktu itu.”
Hidup ibarat sebuah kotak yang dikunci.
Siapapun terus mencari kunci untuk bisa membuka dan mengetahui isinya.
Sumber : Buku INTISARI oktober, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar